Jumat, 08 Mei 2015

Gembok



Cerpen Desi Puspitasari





“FRAU Wiechert?”

“Ja.”

Wiechert terjaga karena suara berisik. Suara langkah kaki tergesa menaiki tangga. Pintu dibuka, pertanyaan-pertanyaan, tetangga sebelah banyak bicara dengan setengah menangis. Perkataannya tidak jelas sehingga polisi mengulang jawaban untuk memastikan kebenaran. Wiechert menggeram, bangkit dari tidur, tersaruk meraih sisa kopi semalam. Ia memperhatikan pekerjaan yang belum rampung. Mesin ketik dengan sehelai kertas berisi separuh tulisan teronggok diam. Semalam otaknya mampat dan punggungnya yang terlalu letih butuh istirahat.

Pintunya diketuk. Hanya mengenakan pakaian dalam putih dan jubah melorot di bagian bahu, Wiechert membuka pintu. Tak jauh dari pemilik gedung yang berdiri gugup menyapa, beberapa polisi keluar-masuk tempat tinggal tetangga sebelah. Mereka akhirnya berpesan; bila menemukan perkembangan informasi atau bahkan pelaku, Otto Baumer akan segera diberi tahu.

“Segera betulkan pintumu. Kau diperkenankan mengganti kunci baru dan menambah gembok.”

Otto Baumer, tetangga sebelah, mengucapkan terima kasih. Saat kembali masuk, ia berkeluh kesah dengan keras; bagaimana ia bisa berangkat kerja sedang rumahnya baru saja dibobol maling.

“Pencurian,” kata pemilik gedung mubazir. Sudah jelas kejadiannya begitu masih dikatakan lagi.

”Ja.”

“Pada pukul lima pagi. Nekat sekali.”

“Ja.” Wiechert baru saja merebahkan tubuh saat itu. Tak mendengar apa-apa.

“Herr Klaus-Otto Baumer pergi belanja di toko kelontong 24 jam. Membeli teh dan roti. Saat pulang, pintu sudah terbuka, dicongkel, engselnya rusak, keadaan bagian dalam rumah berantakan. Laci meja tersorok keluar. Lemari terbuka. Pakaian berhamburan. Televisi, simpanan uang, segala barang berharga hilang.”

Wiechert mendengarkan tanpa minat. Tidak ada barang berharga di dalam ruangannya kecuali mesin ketik dan setumpuk naskah setengah jadi—bila maling kelas teri mengerti literasi.

“Polisi curiga pelakunya orang dalam. Bagaimana ia bisa hafal kebiasaan Herr Baumer menyimpan kunci? Bagaimana bisa ia tahu sepagi itu Herr Baumer pergi keluar?”

“Aku tidak tahu.”

“Herr Baumer juga tak tahu. Polisi tidak tahu. Aku juga tidak. Peristiwa ini membuat keadaan menjadi rawan.”

“Ja.”

“Puluhan tahun menyewakan apartemen, ini yang pertama.”

“Ach so.”

“Sebaiknya tidak menyimpan kunci di bawah keset di depan pintu.”

Wiechert melongok ke bawah. Tidak ada keset. Menyadari kesalahannya, pemilik gedung buru-buru mengganti. “Hanya pengandaian. Atau di bagian bawah pot tanaman.”

Wiechert menoleh. Pot tanaman mungil yang diletakkan di sisi kiri pintu Otto Baumer terguling.

“Sebaiknya kau memasang gembok tambahan.”

“Ja.“

Pemilik gedung pamit hendak memberi tahu penghuni lain.

Wiechert mengamati bagian dalam pintu rumahnya. Tanpa lubang intip. Sudah terdapat gerendel. Selalu dikait saat hendak tidur. Gembok? Gembok tambahan adalah ide bagus meski hanya sedikit barang berharga. Wiechert hanya tidak ingin saat ia pergi bagian dalam rumahnya diobrak-abrik maling. Dengan jubah yang sudah dibetulkan letak bahunya, tali di pinggang yang diikat begitu saja, Wiechert pergi ke toko kelontong 24 jam.

“Jangan menyimpan kunci di—” Perempuan itu menirukan gaya bicara pemilik gedung sambil turun tangga. “Aku selalu menyimpan kunci dalam saku.”

Di toko kelontong Wiechert membeli sebungkus roti dan susu kardus dan sebungkus rokok. Ia berdiri di luar, mengunyah sarapan dan minum susu sendirian. Butuh beberapa menit menunggu sarapannya bereaksi dan beberapa kepul rokok untuk menghangatkan tubuh. Dari bayangan kaca perempuan itu memperhatikan rambutnya yang hitam pendek berantakan, matanya berkantung, dan meski sudah ditutupi jubah, bahu kurusnya masih mencuat seperti rangka payung.

Wiechert kembali masuk. “Aku mencari gembok.”

Pelayan memberi tahu supaya ia naik ke lantai dua. Bagian perkakas rumah tangga.

“Aku mencari gembok,” kata Wiechert lagi di lantai dua.

Seorang laki-laki muda, ditindik di antara bibir bagian bawah dan dagu, rambut dicat merah, memberi tanda supaya Wiechert mengikutinya. Ia menunjuk deret bermacam-macam gembok di etalase.

“Aku mencari perlindungan ganda.” Mata Wiechert menelusuri satu demi satu gembok yang ada.

Pemuda itu menunjuk salah satu gembok.

“Bukan yang berwarna kuning. Kurang keamanannya.”

Pelayan itu mengeluarkan sebuah gembok berwarna perak. “H.S.G.. Extra plus.”

Wiechert menimang-nimang. “Apa kepanjangan H.S.G.?“

“Kuncinya tidak bisa dilepas bila tidak dalam posisi menutup.” Itu bukan jawaban atas H.S.G. Pelayan itu hanya menyebutkan kelebihan barang yang dijualnya. Kemudian ia mendemonstrasikan cara membuka dan menutup; memasukkan kunci, memutar, posisi gembok terbuka, kunci ditarik namun tidak bisa, baru ketika posisi gembok kembali ditutup kunci berhasil dicabut.

“Seperti hati dan cinta. Bila ada cinta, hati siap membuka untuk menyambutnya. Bila tidak, hati akan tertutup.” Wiechert tidak tahu mengapa tiba-tiba ia mengucapkan satu kalimat dari naskah yang sedang ditulisnya.

“Ja, ja.” Pelayan itu tiba-tiba menyahut tertarik. “Anda penulis?”

Wiechert menggeleng. “Hanya mengoceh.”

“Tapi kalimat Anda bagus.”

“Berapa harganya?”

“Hanya ada satu kunci untuk satu gembok.” Pelayan itu masih bertahan. “Apa artinya?”

Wiechert memeriksa sisa rokok. Sudah hampir habis. Ia menjatuhkan puntung dan menginjaknya gepeng. “Bila bukan kunci yang tepat, gembok tidak akan mau dibuka. Bila bukan cinta yang tepat, hati tak akan hendak terbuka.”

Mendengar penjelasan Wiechert, mata pelayan itu berbinar-binar. Wiechert memeriksa tindikan dan warna rambut dan tato yang terlihat sedikit ujungnya dari balik kemeja kerja. “Kau suka membaca cerita cinta.”

“Jörg.” Pelayan itu memperkenalkan diri lalu merendahkan volume suara. “Aku membaca roman popular. Tema cinta-cintaan selalu menarik perhatianku. Penulis favoritku: Helga Brunner, Hilde Anselm, Wiechert Völler—atau Völler Wiechert, aku lupa tepatnya. Seandainya aku bisa bertemu dengan salah satu dari mereka.” Jörg berhenti sebentar. “Tidak ada yang bisa aku ajak bicara mengenai roman cinta-cintaan di sini.”

“Aku kira teman perempuanmu banyak.”

“Tidak dengan penampilan seperti ini.”

“Kau punya dudukan gembok? Apa istilahnya—tempat untuk mengaitkan gembok saat pintu sudah ditutup?”

Jörg bergeser ke samping. Memilih yang sewarna dan menyerahkan pada Wiechert.

“Berapa harganya?”

“Aku senang bertemu Anda. Menemukan teman mengobrol yang tepat seperti gembok dengan kunci yang tepat.”

Wiechert merogoh saku jubah. Saku kanan. Saku kiri. Mencari uang.

Jörg kembali merendahkan suara. “Anda tidak perlu membayar. Anggap ini hadiah dariku.”

“Tidak bisa begitu.”

“Tunggu di sini.” Jörg membawa pergi gembok, kunci, beserta dudukannya. Ia menjelaskan sedikit pada temannya yang bertugas di belakang meja kasir. Wiechert mendengarnya seperti; perempuan itu kakinya terkilir atau apalah, ia tidak boleh banyak bergerak, aku hanya sedang membantu membayar belanjaan.

Pelayan laki-laki itu kembali dengan menyerahkan belanjaan Wiechert.

“Kau berlebihan.”

“Aku tidak apa-apa. Sungguh.” Lalu, lanjutnya, “Aku bekerja sif pagi sampai sore. Bila Anda kemari lagi untuk berbelanja, mampir ke lantai dua.”

Wiechert mengucapkan terima kasih. Sampai di rumah ia segera memasang dudukan dan mencoba menutup dan membuka untuk memeriksa apakah sudah terpasang baik. Pintu Otto Baumer sudah dipasangi gembok ukuran sangat besar. Laki-laki tua gemuk itu sekarang sedang jongkok membetulkan engsel yang rusak.

“Mencegah jauh lebih baik ketimbang kemalingan.”

“Ja, Herr.” Suara Wiechert mengandung nada simpati.

“Aku membeli gembok dengan perlindungan ganda dengan gembok yang lebih tebal dan mantap.” Otto Baumer kembali pada pekerjaannya. “Sebaiknya kau membeli yang model begitu.”

Wiechert hendak masuk ketika Otto Baumer menyusulkan kalimat berikutnya dengan buru-buru. “Ini pengalaman kurang menyenangkan untukmu yang baru pindah ke sini. Tapi, seperti kata pemilik gedung; setelah puluhan tahun ini yang pertama.”




“Semoga harimu menyenangkan.”

Wiechert merebus air. Sembari menunggu ia kembali menyulut rokok. Mengingat Jörg. Tidak menyangka pemuda itu akan bersungguh-sungguh mau membayari belanjaan. Lumayan. Uang yang tidak jadi keluar bisa ia belikan setok kopi atau rokok untuk hari berikutnya.

Peluit ceret berbunyi nyaring. Wiechert menyeduh kopi dan membawanya ke ruang kerja.

Teringat Jörg, warna biru seragam, tindikan, rambut dicat merah, obrolan cinta teranalogi kunci dan gembok membuat Wiechert menemukan ide baru. Wiechert akan menjadikan karakter unik Jörg sebagai tokoh utama yang jatuh cinta pada seorang pelanggan bulimia. Ini akan jadi cerita roman yang tidak biasa. Semoga kali ini ia mampu menyelesaikan tulisan. Kalau macet, ia akan kembali ke toko kelontong untuk mengobrol mengorek ide.Wiechert menyedot rokok sekali lagi. Suara mesin ketiknya mulai berdentam-dentam. (*)




Desi Puspitasari, adalah novelis dan cerpenis. Novelnya The Strawberry Surprise diadaptasi ke layar lebar pada 2014. Lahir di Madiun 7 November 1983. Ia bermukim di Yogyakarta. Novelnya yang akan terbit berjudul Kris & Silvana.




sumber :


https://lakonhidup.wordpress.com/2015/02/01/gembok/#more-5153




Selasa, 05 Mei 2015

Hati-Hati Menerima Telepon dari Nomor Tak Dikenal



Cerpen: Gunawan Maryanto




Pastikan Anda Benar-Benar Tak Mengenalnya
Aku sama sekali tak menduganya. Bukannya aku sudah lupa dengan suaranya. Tapi aku memang benar-benar tak menduga bahwa yang meneleponku di siang hari itu adalah dia. Lagi pula aku sudah lama menghapus nomornya dari ponselku. Aku bahkan tidak tahu apakah itu nomor dia yang dulu atau nomor baru. Aku selalu lupa pada angka. Atau memang angka demikian mudah dilupakan.

"Hallo… Ini siapa, ya?" Jadi aku memang benar-benar bertanya. Bukan sedang berpura-pura untuk menggodanya.

"Alah, masa lupa, sih?" Aku jadi tak enak. Kau pun akan merasa demikian kan? Jika bertemu dengan seseorang yang seperti mengenalmu tapi kau sama sekali tak bisa mengingat, kapan dan di mana kalian pernah bertemu sebelumnya.

Aku berusaha keras mengingat. Sebenarnya bukan berkeras mengingat, tapi berusaha keras untuk meyakinkan diri. Suaranya, aku tak pangling lagi: Alina. Tapi benarkah dia? Aku tak segera bisa meyakinkan diriku. Ada urusan apa? Sedang aku sudah lama tak berurusan dengannya.

"Alin, ya?" Tebakku tak yakin. Sama sekali tak yakin.

"Ooo… Masih ingat, ta? Kirain udah lupa." Lalu ia tertawa. Ngakak. Tawa yang seharusnya segera bisa meyakinkanku bahwa yang sedang bicara di seberang sana itu adalah dia. Tapi bagaimana aku bisa meyakinkan diriku saat itu? Sudah lama ia tak ada lagi bagiku. Dan aku benar-benar sudah berhasil melupakannya. Kau mungkin tak akan mempercayai keberhasilanku yang satu ini: melupakan seseorang dengan sempurna. Tidak mudah, memang. Tapi nyatanya aku bisa. Aku bisa melupakan seluruh pertemuanku dengannya. Seluruh cintaku kepadanya. Seluruh wajahnya. Juga bau tubuhnya. Aku seperti bisa memotong satu kurun waktu dari hidupku yang bersinggungan dengannya. Dan membuangnya jauh-jauh dari hidup yang terus kujalani.

Tapi teleponnya siang hari bolong itu seperti mengejek keberhasilanku itu. Panas setahun hilang oleh hujan sehari kata orang lama. Tapi karena nila setitik rusak susu sebelanga lebih tepat bagiku. Karena teleponnya rusaklah keberhasilanku melupakannya. Sial! Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Jika kau gagal bukankah kau selalu mencari kambing hitam? Sialnya, tak ada kambing hitam yang tepat untuk kejadian yang kualami ini selain diriku sendiri. Aku mulai mencurigai diriku. Jangan-jangan aku tak pernah sekali pun melupakannya. Bahwa selama ini ia tetap ada tapi aku berpura-pura tak menyadarinya. Aku hanya sekadar menumpuki ingatanku tentangnya dengan beragam ingatan yang lain. Jadi, aslinya ia tetap ada. Tak kurang tak lebih. Ia tetap bersemayam dengan kuat dalam kepalaku. Diam. Seperti menunggu saat yang tepat buat membalas dendam. Dan saatnya telah tiba.

"Tentu saja aku masih ingat. Nggak mungkinlah aku bisa lupa sama kamu." Tentu saja tak kukatakan bahwa aku telah gagal melupakannya. "Apa kabar?"

"Baik. Kamu?"

"Baik. Mmm… Lagi di mana, Lin?" Semoga ia tak berada di tempat yang dekat. Jawablah dengan nama kota yang terjauh dari jangkauanku. Syukur-syukur nama sebuah kota asing. Mendadak aku mulai merasa ketakutan. Aku mulai terancam dengan kehadirannya kembali. Pelan-pelan aku mulai berjaga-jaga. Menjaga apa? Aku tak tahu. Menjaga diriku. Mungkin saja.

"Kampung. Aku balik kampung. Dah 5 tahun." Aku sedikit lega. Meski kampung yang dimaksudkannya itu cuma enam jam perjalanan darat saja dari tempatku. Setidaknya ia tak berada di kota yang sama denganku.

"Dapat kerja di situ?"

"Yup." Kelegaanku sedikit bertambah. Aku sedikit merasa nyaman bercakap dengannya.

"Gak sedang sibuk kan?" Sebenarnya aku ingin langsung menjawab, "Sibuk." Dan selesailah. Aku bisa kembali menyibukkan diriku untuk kembali melupakannya. Sialan! Tiba-tiba saja aku marah pada diriku sendiri. Marah dalam arti yang sebenar-benarnya. Jadi selama ini seluruh kerja yang kulakukan ini hanyalah sebuah usaha untuk melupakannya? Jadi selama ini diam-diam dialah yang menggerakkanku? Aku wayang dan dia dalang?!

"Gak kok. Kebetulan lagi istirahat. Ada apa nih?" Benar kan aku cuma wayang? Aku hanya mengucapkan kata-kata yang ingin didengarnya. Kata-kata barusan bukan kata-kataku sendiri. Adalah kata-katanya. Aku cuma mengucapkannya.

"Ada apa nih, Lin? Kok njanur gunung."
"Janur gunung? Apa tuh?"
"Tumben."
"Janur gunung kok bisa jadi tumben?"

"Njanur gunung sama dengan menyerupai aren. Menyerupai aren bahasa Jawanya kadingaren. Kadingaren bahasa Indonesianya adalah tumben."

"Kamu kok nggak capek-capek sih jadi orang Jawa."

"Ya capek sih kalau dipikir-pikir. Tapi jika sejak kecil kau berada di dalamnya, dipaksa terus-menerus berada di sana, apa kau akan sempat memikirkannya lagi?"

"Kamu gak capek. Yang denger yang capek, tauk!"

Seperti dam yang pintu airnya jebol. Serupa bendungan yang tanggulnya ambrol. Percakapan kami mengalir tak habis-habis. Ia dalang yang tak pernah kehabisan cerita. Aku wayang dari kulit kerbau terbaik --ulet dan tahan lama; siap memainkan kisah apa saja. Juga kisah antara aku dan dia. Sebuah kisah cinta. Atau hanya kangen-kangenan biasa.

"Aku sudah nikah, Lin. Anakku satu. Tapi kami sudah pisah."
"Wah, duren dong."
"Duren?"

"Duda keren. Ha ha…" Ia tertawa ngakak lagi. Mengingatkanku pada banyak hal tentang dirinya. Mungkin benar kata orang, segala sesuatu mengingatkan kita pada sesuatu yang lain. Tawanya mengingatkan pada senja oranye di sebuah pantai di mana jemariku menggelitiki pinggangnya. Mengingatkanku pada hari di mana ia meniup lilin ulang tahunnya yang dua puluh dua. Juga mengingatkanku, aneh, pada tangisnya yang berwarna kelabu. Warna favoritku. Warna sejumlah t-shirt-ku. Warna perpisahan kami.
"Tahu tidak? Berbulan-bulan aku mencari nomormu." O, ya? Untuk apa? Tidakkah seluruh hal tentang kita telah kita tinggalkan karena tak satu pun dari kita kuasa menanggungnya? "Dan baru hari ini aku menemukannya."

Aku memang selalu berganti nomor. Dan baru kali itu aku benar-benar menyadari alasannya: menghindar darinya. Dan seperti bocah yang tempat persembunyiannya ketahuan, aku tersenyum kecut, merasa kalah dan gagal.

"Mmm… Dari mana kau dapat nomorku?"
"Darimu."

"O, ya? Kapan?" Tiba-tiba aku cemas. Jangan-jangan tanpa kusadari ada bagian dari diriku yang meneleponnya terlebih dulu, atau meninggalkan nomor terbaruku di e-mailnya. "O, ya, ya. Aku lupa." Aku harus mengakui perbuatan yang tak pernah kulakukan. Atau tak sepenuhnya kusadari. Kecurigaanku kepada diriku sendiri makin berlipat. Jangan-jangan diriku memang terbelah menjadi dua. Satu bagian masih berusaha mempertahankan kehadiran Alina. Yang lain berusaha keras melupakannya. Dan selama ini mereka bertarung di luar kehendak dan kesadaranku. Mereka sama-sama mengkhianatiku. Sama-sama meninggalkanku. Sendirian. Dan kedinginan.

"Aku hanya ingin tahu sebahagia apa kamu sekarang." Ah, jika bahagia itu ada, aku akan menjawab dengan pasti bahwa aku bahagia. Tapi sebagai jalan ia adalah jalan yang licin, sebagai sebuah tempat ia tak beralamat.

"Aku bahagia sekaligus tidak bahagia. Bagaimana, ya, ngomonginnya? Ya, gitu-gitu deh. Kau sudah tahu bagaimana aku." Jawabku aman-aman saja. Tak menjawab sesungguhnya. "Bagaimana dengan kamu sendiri?"

"Nggak tahu ya. Tapi aku senang dengan seluruh hal yang kulakukan sekarang." Syukurlah. Bagaimanapun aku turut senang mendengarnya.

"Juga sekarang kau senang?"
"Ya. Aku senang sekali bisa meneleponmu. Kupikir kau sudah melupakanku."
"Mmm… Kau sudah nikah, Lin?"

"Belum." Entah kenapa aku merasa lega. Tapi segera ada bagian dari diriku yang kembali mengikatnya. Erat dan menyesakkan. Kelegaan itu segera menghilang.

"Tapi beberapa hari yang lalu kami sudah memutuskan untuk menikah."

"O, ya. Selamat deh." Aku meresponnya dengan biasa saja. "Semoga kau makin bahagia karenanya."

"Thanks. Eh, minta e-mailmu dong."
"Ya, ntar ku-sms. Ini nomormu kan? Aku minta e-mailmu juga ya?"
"Yup."
"Eh, dah dulu, ya? Aku ada janjian ketemu orang. Kapan-kapan kita sambung lagi." Sebenarnya aku tak ada janji dengan siapa-siapa hari itu. Aku hanya berjanji kepada diriku sendiri untuk segera mengakhiri percakapan itu. Secepat-cepatnya. Makin cepat makin baik.

"Oke. Sampai ketemu lagi. Sorry sudah ngganggu waktumu. Mmmmuuaaahhh!"

Aku segera mematikan ponselku sebelum ciuman akhir itu benar-benar mendarat di pipiku. Dan baru kemudian aku merasa lega. Tak sepenuhnya memang. Tapi seperti ada beban yang kuturunkan dari bahuku. Aku menengok jam dinding, 5 menit. Hanya 5 menit kami bercakap. Dan itu sudah cukup. Terlalu cukup untuk situasiku belakangan ini.

Berbareng dengan semua itu, diam-diam jemari tangan kananku mengirim pesan ke sebuah nomor:

Tahu tidak? Aku senang sekali menerima telponmu. Aku bahagia.

***


Minggu, 03 Mei 2015

Gadis Bunga



Cerpen: Sunlie Thomas Alexander




AKU bayangkan kau sekuntum bunga. Hanya bunga yang selalu dihinggapi oleh kupu-kupu, sebagai takdirnya. Jangan protes lagi. Aku yakin kau memang secantik bunga. Mungkin Mawar, Melati, Anggrek, atau Calla. Ah, aku lebih suka bunga yang terakhir. Bukan hanya karena di mataku bunga itu tampak lebih cantik dari bunga lain, tetapi Calla selalu saja mengingatkanku pada sebuah film Korea. Dan film itu mengingatkanku pula pada seseorang, lantaran perjumpaan kami yang begitu mirip dengan sebuah adegan dalam film tersebut.

Namun kau lebih suka bunga Sedap Malam. Bunga itu menghiasi kamarmu dalam sebentuk lukisan cat minyak, katamu. Eh, kau bisa melukis kan? Aku pingin punya lukisan Sedap Malam satu lagi? Bikinkan untukku ya? Pintamu sambil tertawa.

Kau pernah marah dan menegurku lewat SMS-SMS yang meradang agar aku berhenti berimajinasi tentang dirimu. Sebab, menurutmu, imajinasi suka menyesatkan dan kau takut aku akan kecewa setelah menemukan kenyataan tidak seperti yang aku bayangkan.

"Aku tidak secantik imajinasimu!" Gerutumu kesal. Tetapi, aku tak bisa berhenti berimajinasi tentangmu. Aku telah terobsesi pada tatto kupu-kupu, yang katamu, ada di lehermu itu. Maka kubayangkan kau bagai sekuntum Calla, tentu dengan leher yang jenjang seperti tangkai Calla yang panjang. Dan, kupu-kupu itu tampak mengepak-kepakkan sayapnya yang indah di lehermu, sebelum akhirnya hinggap di ujung hidungmu yang bangir. Sungguh menggemaskan.

Film Korea itu kutonton malam hari, sendirian di kamar kontrakan, dan aku berjumpa dengan seseorang itu keesokan paginya dalam perjalanan bis ke kantor. Persis cerita dalam film Korea tersebut. Tentu, aku takjub. Bagaimana mungkin ada kejadian yang begitu mirip? Adakah memang kebetulan semacam ini di dunia? Atau aku yang terlampau melebih-lebihkannya?

Yang pasti, seperti adegan dalam film, kami bertabrakan di dalam bis yang sarat penumpang, dan aku bergegas minta maaf. Ia tersipu dan aku terperangah. Untuk beberapa saat kami saling bertatapan lalu sama membuang muka. Aku pura-pura melemparkan pandang ke luar jendela bis yang kusam dengan jengah tapi diam-diam melirik. Aku tahu, ia sama gelisahnya dari sepasang matanya yang bening?

Bis kota yang kami tumpangi terus merayap, bagai merangkak di tengah lalu lintas pagi hari yang padat. Berkali-kali mata kami kembali bertemu untuk kembali terburunya menghindar. Kutangkap rona memerah di wajahnya, dan rasa gelisah --oh, gelisah yang nikmat itu-- di dadaku semakin kentara. Aku ingin sekali menyapanya, mungkin sekadar menanyakan nama, kerja di mana, atau bisa minta nomor teleponmu? Atau lebih jauh lagi. Tapi tiada sepatah kata pun yang sanggup terucap dari mulutku. Semua kata, semua kalimat seolah bersepakat membuat kubangan di dalam kepalaku.

Dan untuk saat-saat seperti ini, kau tahu, waktu selalu saja terlalu bergegas! Ia turun dua blok sebelum kantorku. Begitu tergesa dan tanpa berpaling.


***





SEBAGAIMANA sudah bisa kauduga, sejak itu, tokoh utama dalam film Korea yang kutonton tersebut terus terbayang pada perjumpaannya yang terlampau ringkas dengan gadis dalam bis kota. Wajah gadis itu dengan lirikan ekor mata yang sedikit nakal namun gugup serta rona memerah di pipi yang begitu manis, mulai menempati sebuah bilik yang cukup luas dalam batok kepalanya, menciptakan siang dan malam yang mulai berbeda untuknya. Tak di kantor, di rumah kontrakan, di jalan, atau di mana saja ia berada. Terkadang sedikit mengganggu kesibukannya.

Tentu, setiap pagi ia selalu naik bis yang sama ke kantor --meski mobilnya telah keluar dari bengkel-- tapi tak pernah lagi ia bersua dengan gadis itu. Ai, gadis itu seperti lenyap tak berjejak. Walau setiap jam istirahat siang, setiapkali pulang lebih cepat dari jam kantor, ia senantiasa menyempatkan diri menelusuri setiap blok perkantoran dan pertokoan di sekitar kantornya, menyusuri setiap ruas jalan hingga ke beberapa gang kecil. Berharap akan menemukan gadis itu di suatu tempat.

Hingga suatu pagi, ia menemukan setangkai bunga Calla tergeletak di atas meja kantornya. Hanya setangkai Calla, tanpa disertai kartu ucapan atau pesan apa pun.

"Dari gadis itu?" Usikmu di ponsel. Ah, bersabarlah, dengarkan dulu ceritaku sampai selesai. Tokoh utama film Korea itu pun menduga hal yang sama denganmu, mungkin tepatnya berharap seperti itu. Ia sempat bertanya sana-sini, ke hampir semua pegawai kantor. Tetapi tak seorang pun yang tahu perihal bunga tersebut. Sampai kemudian ia mendengar dari seorang satpam, kalau pagi-pagi sekali seorang bocah laki-laki mengantarkan bunga tersebut saat satpam itu sedang membuka pintu kantor.

Selanjutnya setiap pagi, ia selalu menerima setangkai Calla yang serupa. Selalu bocah lelaki itu yang mengantar, kata satpam. Tetap tanpa pesan, selain bunga itu untuknya. Karena penasaran, satu pagi ia memutuskan datang lebih awal. Dan, benar kata satpam, ia bertemu dengan bocah lelaki pengantar bunga itu?

Kau menahan nafas di seberang. Membuatnya iseng menahan cerita untuk beberapa jenak, ingin menikmati rasa penasaran dan keteganganmu.

"Saya diupah oleh pegawai toko bunga tak jauh dari sini mengantarkannya untuk Tuan," jawab bocah lelaki itu. Selebihnya bocah itu hanya menggeleng. Ia mendesah kecewa, namun diputuskannya untuk mencari toko bunga itu.

Tiba-tiba kau tertawa keras di ponsel. Begitu keras hingga aku buru-buru menjauhkan ponsel dari telinga.

"Ada apa?" tanyaku polos meski agaknya sudah dapat menebak apa yang membuatmu tertawa. Dan benar saja dugaanku, kau tertawa membayangkan diriku berkhayal jadi tokoh utama film Korea itu. Ah, kalau saja kau tahu, bagaimana aku selalu mengangankan seluruh adegan dalam film itu berulang padaku, tentu dalam versi happy ending.

Terkadang aku ingin menertawakan diriku habis-habisan, menertawakan segala kekonyolan yang kuperbuat meskipun kerapkali aku begitu menikmati peranku sebagai tokoh utama film Korea itu. Sayangnya, tidak seperti tokoh utama film tersebut, aku tidak berhasil menemukan seseorang itu di sebuah toko bunga kecil yang agak tersembunyi di sudut jalan. Terang saja, karena tak sekuntum pun bunga yang pernah tergeletak di atas meja kantorku!
***
AKU memanggilmu gadis bunga, sebagaimana tokoh utama film Korea tersebut menjuluki gadis idamannya yang akhirnya ditemukannya di toko bunga kecil itu. Seharusnya panggilan itu memang untuk gadis yang bertabrakan denganku di dalam bis. Tapi ia sungguh raib ditelan waktu. Tidak seperti gadis Korea penjual bunga. Teman-teman sekantorku mengejekku habis-habisan.
Maka, kepadamulah akhirnya panggilan itu kutujukan. Jangan protes, sebab hanya sekuntum bunga yang senantiasa dihinggapi oleh kupu-kupu. Ya, kupu-kupu yang katamu telah lama menghiasi lehermu. Sejak itu, aku terus menghujanimu dengan SMS-SMS yang kadang kelewat melankoli, sesekali meneleponmu.

"Kau akan kecewa," tukasmu jengkel, "Aku sama sekali tidak seperti gadis idamanmu itu. Kau bersikap tak adil padaku." Suaramu ketus. Aku hanya tertawa getir. Lalu memintamu mengirimkan selembar fotomu padaku lewat pos atau e-mail, itu kalau kau berkenan. Agar aku berhenti berimajinasi, kataku. Sungguh, aku merasa tak mampu mengekang laju imajinasiku, terlebih setiapkali membayangkan kupu-kupu itu mengepak-kepakkan sayap di lehermu. Dan, kau benar, mungkin aku memang telah berbuat tak adil padamu. Setiapkali mencoba membayangkan dirimu, kepalaku selalu saja dipenuhi oleh bayangan gadis itu. Barangkali lebih tepat kalau dikatakan aku membayangkan dirimu sebagai dia, daripada sepenuhnya berimajinasi tentang sosokmu. Maaf.

Kapan kita bisa bertemu? Mungkin di suatu tempat yang kau suka? Di sebuah kafe kecil barangkali? Atau di pantai? Di mana aku bisa sepuasnya menyaksikan kupu-kupu itu mengepak-kepakkan sayapnya di lehermu sambil menikmati secangkir teh hangat.

Aku ingin sekali mengunjungimu di Kota Kembang. Kalau saja pekerjaan kantorku tidak selalu menumpuk dan keluargaku tidak semena-mena merampas sisa waktuku. Bukankah kau telah berjanji menjadi guide bagiku? Kita bisa jalan-jalan di Braga, atau kau lebih suka nongkrong di Dago?
***
KAU akan tiba sebentar lagi dengan kereta senja, dan kumasuki stasiun dengan degup di dada yang tak berirama. Hujan melebar, tempiasnya membasahi kaki celanaku. Orang-orang berlarian dan berteduh, barangkali di dalam hati mengutuk hujan yang celaka. Padahal betapa hujan selalu menyegarkan di mataku. Di mana-mana payung bermekaran, serupa kelopak bunga beraneka warna. Semarak dan indah.

Hujan awal November. Entahlah, di awal musim, selalu saja aku merasa memperoleh semangat baru, seperti rumput-rumput kering meranggas yang dihijaukan oleh hujan. Meski kini aku sedikit menggigit cemas.

Aku sudah tak sabar lagi menunggu kereta yang membawamu tiba, seperti juga aku tak lagi sabar untuk melihat sosokmu, tak lagi sabar menyaksikan kupu-kupu yang mengepak-kepakkan sayap di lehermu dan tak lagi sabar mengakhiri cerita film Korea itu untukmu. Sengaja memang aku menyimpan akhir cerita hingga kau datang. Aku hanya ingin mengakhiri cerita itu di depanmu, agar aku dapat merasakan keteganganmu lebih dekat. Adakah kau marah, kesal, atau justru senang?

Mungkin nanti kau bakal kecewa, seperti halnya diriku ketika film Korea itu ternyata berakhir menyedihkan.

Keretamu belum tiba juga. Rasanya demikian lama. Tetapi aku berusaha menikmati penantianku, layaknya tokoh utama film Korea itu menikmati segenap upayanya mencari gadis idamannya, sebelum kemudian menemukan gadis itu di sebuah toko bunga kecil yang agak tersembunyi di sudut jalan.

Toko bunga itu ditemukannya tak sengaja setelah sekian lama mencari. Saat itu ia baru keluar dari hotel tempat ia bertemu dengan seorang klien, ketika gerimis mendadak jatuh. Ia baru saja berpikir hendak kembali ke hotel, kalau matanya tidak keburu menangkap bayangan bunga-bunga beragam warna. Sebuah toko bunga kecil yang meriah, dengan pot-pot bunga tertata rapi di teras, sebagian bergantungan. Toko bunga kecil itu berada tepat di seberang hotel, agak tersembunyi di pojok jalan, diapit butik batik dan sebuah swalayan cukup besar. Ia tertegun dengan jantung berdebar kencang. Kemudian, tanpa menghiraukan lagi gerimis yang melebar, ia segera berlari menyeberang jalan, sambil merutuk habis-habisan kenapa tidak pernah menyadari keberadaan toko bunga itu padahal cukup sering ia keluar-masuk hotel yang baru ditinggalkannya.

Gadis itu ternyata ada di sana! Agak terkejut ketika melihat kedatangannya, tetapi segera menyambutnya dengan riang dan ramah.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya gadis itu sambil tersenyum. Ia hanya terpaku dan merasa tubuhnya mendadak menjelma jadi manekin sebagaimana yang ada di butik sebelah toko bunga.

Aku tak ingin seperti itu di depanmu nantinya?
Hujan tercurah semakin deras. Aku mengetuk-ketukkan ujung payungku dengan sedikit jengkel ke lantai peron. Sebuah kereta baru saja memasuki stasiun beberapa menit yang lalu, namun bukan dari jurusan kotamu. Kau naik kereta apa sih? Aku mencoba menghubungi ponselmu, tetapi lagi-lagi masuk ke mailbox. Kenapa mematikan ponsel? Takut kecopetan atau ditodong dalam kereta? Atau jangan-jangan kau tak jadi datang? Kau hanya mempermainkanku? Padahal sebelum aku sampai ke stasiun ini, kita masih sempat bercakap-cakap lumayan lama.

Peron kian gerah dengan orang-orang yang berdesakan. Maklum akhir pekan. Kembali terdengar suara pluit melengking. Keras dan panjang. Lalu disusul pengumuman dari pengeras suara: sebuah kereta dari jurusan kotamu sedang memasuki stasiun. Aku berpaling dengan tegang, dan hujan kian menjadi. Kurasa keringat dingin membasahi sekujur tubuhku.


***